Tuesday,2024-04-23, 9:02 AM

Web Khusus Ilmu Perpustakaan

Menu Utama


Link
Statistik



SEO Stats powered by MyPagerank.Net

Main » Files » My files


Buku Dan Perpustakaan : Catatan Memori Bangsa Embangkit Nasionalisme

2009-12-15, 12:16 PM
Brosur Telah di Download Sebanyak: 0

Buku Dan Perpustakaan
Catatan Memori Bangsa Embangkit Nasionalisme

Oleh:
Purwono
(Pustakawan Utama UGM)

Pengantar

Apabila kita sitir ucapan Richard Whitlock, pecinta buku abad XVII,  "Buku adalah penasehat yang bebas biaya, buku tidak menolak permintaan nasihat, buku adalah permata, buku adalah sahabat yang baik”. Maka betapa pentingnya peranan buku dalam upaya memajukan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sebab didalam bukulah terkandung permata yang sangat berharga bagi masyarakat. Untuk itu  buku perlu dimasyarakatkan. Buku yang memasyarakat ini terasa semakin urgen  eksistensinya, manakala disadari  betul apa hakikat eksistensi buku itu. Buku merupakan salah satu penyimpan informasi terbaik, bahkan sampai saat inipun.

Dilihat dalam perspektif tata dunia baru, di mana kemajuan peradaban pikir makin tinggi, buku mungkin satu-satunya sarana yang tidak dapat sepenuhnya tergantikan oleh sarana penyimpan informasi yang lain. Tentu saja sarana penyimpan ini akan selalu mengalami perubahan media penyimpannya, apapakh media kertas atau non kertas, terekam dalam bentuk analog atau digital, terbacakan mata atau terbacakan mesin (elektronik atau  virtual).

Di kalangan ilmuwan dan kaum intelektual, pentingnya peranan buku untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah disadari  dan tidak perlu diragukan lagi. Kalangan ini menjadi konsumen pertama buku-buku baru. Selain karena kehidupannya memang relatif sudah mapan, kalangan ini memang harus selalu membaca buku untuk meng – up to date- kan pengetahuannya. Bagi kita justru terdengar aneh bila kalangan ini kurang banyak menggeluti buku-buku. Walaupun tidak sedikit pula kita temukan keanehan-keanehan itu. Misalnya, banyak mahasiswa, pelajar, bahkan dosen, tidak gemar membaca.

Kekuatan utama sebuah buku (pustaka) bukan saja terletak pada fisiknya tetapi juga  nilai informasinya yang terkandung dalam pustaka yang bersangkutan. Oleh karena itu baik fisik maupun informasi yang dikandung perlu dilestarikan bersama sebagai suatu rekaman budaya atau sejarah kehidupan bangsa yang menjadi kebanggaan dan acuan dalam pengembangan budaya bangsa dan pembangkit nasionlisme di masa mendatang

Keterkaitan buku dan perpustakaan

Buku atau pustaka yang dikenal orang sebagai berkas kertas yang dijilid, biasanya diisi dengan karangan literer, terbukti merupakan wahana yang sangat efektif bagi penyebar luasan atau pemencaran, sekaligus pelestarian informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.. Buku memegang peran penting dalam mencerdaskan kehidupan manusia. Namun tentu saja, ini berbalik kepada manusianya sendiri.

Apabila kita perhatikan ada korelasi antara buku dan perpustakaan. Antara buku dan perpustakaan terdapat kaitan sangat erat, baik secara etimologis, histories, maupun fungsional. Perpustakaan bermula dari adanya koleksi buku. Secara etimologis kata perpustakaan berasal dari pokok kata "pustaka” yang berarti naskah atau buku. Kata bahasa Belanda  bibliotheek,  tidak lepas pula dari kata Yunani biblos  yang berarti buku. Begitu pula kata library  (Inggris), berpangkal pada kata  liber (Latin) yang berarti buku. Memang buku merupakan komponen utama dalam sebuah perpustakaan. Oleh karenanya, antara  perkembangan perbukuan dan perkembangan perpustakaan dalam kehidupan suatu bangsa terdapat hubungan yang sejajar, makin maju perbukuannya makin maju pula perpustakaannya. Meskipun perpustakaan modern banyak yang sudah mempergunakan hasil-hasil media elektronik sebagai sarana informasi dan atau merupakan rekaman memori manusia, namun buku masih merupakan komponen yang dominant dalam koleksi perpustakaan.

Perpustakaan dewasa ini berkembang menjadi sebuah lembaga yang dikembangkan berdasarkan sebuah ilmu yang mandiri dan mengemban fungsi utama sebagai pusat penyimpanan memori (informasi) dan penyaji informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Dengan demikian, perpustakaan merupakan suatu institusi yang sangat berdaya guna bagi usaha pengembangan ilmu pengetahuan peningkatan kualitas dan martabat sumberdaya manusia serta bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan nasional dalam rangka kebangkitan  berbangsa dan bernegara.

Memori dalam rekaman analog dan digital

Kehidupan mengajarkan kepada kita bahwa memori manusia tidak begitu dapat diandalkan. Bila kita menengok sejarah, kita melihat berbagai bentuk rekaman yang membantu kita mengatasi hambatan ini. Peradaban manusia telah terekam dengan sendirinya oleh berkas-berkas (records). Dan sebuah kenyataan pada kehidupan masyarakat kegiatan itu telah dilakukan oleh praktek kepustakawanan. Sebagai memori obyektif atau dengan kata lain sebagai jenis berkas (records) merupakan subyek kajian ditinjau dari aspek ilmu perpustakaan yang melestarikan dan menyampaikan bahan-bahan tersebut kepada pengguna.

Semua bentuk rekaman konvensional, yaitu rekaman yang tidak dihubungkan dengan teknologi komputer, memiliki ciri umum. Bentuknya sama antara berkas/rekaman (records) dengan apa yang dituliskan. Oleh karena itu, sesuatu lukisan merupakan wakil realitas fisik atau realitas dengan unsur spasial. Realitas yang  didapat (data rekam) dan gambar (berkas) dalam bentuk spasial yang sama. Kesamaan antaraberkas/rekaman dan yang direkam sangat serupa sebagimana lukisan. Bila kita berargumentasi lebih lanjut kita dapat mengatakan bahwa analogi menunjukkan ke bidang persepsi visual (arti yang disampaikan dan emosi yang ditimbulkan oleh lukisan merupakan titik perhatian yang bersifat sekunder).

Transkripsi musikal menggambarkan alur melodi. Perasaan yang ditimbulkan  oleh musik tidak penting bagi berkas. Tugas berkas semata-mata hanya merekam suara. Struktur transkripsi notasi sama dengan struktur nada-nada melodi.

Sistem penulisan telah berkembang secara luas dalam berbagai bentuk rekaman , kita dapat mengatakan bahwa pohon tulisan menyalin  ucapan (atau tepatnya: phonetic  dan struktur phonemic dari suatu bahasa) kedalam bentuk grafis. Kita tidak akan meneliti dengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana arti dapat diekspresikan oleh struktur phonetic  dan bagaimana arti dari ide/gagasan yang ada pada kita "hanyalah perbedaan bahasa” Hal ini kita cukup melihat analogi antara struktur dan berkas (tulisan) dan struktur phonemic  sebagaimana yang telah dituliskan. Sebagai suatu  phoneme dari suatu ucapan tersusun secara linier dalam satuan waktu, oleh karena itu penulisan berarti pengorganisasian suatu rangkaian simbul grafis.

Ringkasnya, pada dasarnya ciri sebuah berkas/rekaman yang tidak berhubungan  dengan teknologi komputer berasal dari analogi antara bentuk berkas/rekaman dengan bahan yang direkam. Berkas konvensional adalah berkas analog. Sejauh ini, perpustakaan terutama berurusan dengan buku. Namun dengan hadirnya komputer membawa perubahan yang drastis. Hadirnya komputer membawa banyak masalah untuk mendapatkan pemecahan, dan hanya ada satu yaitu bagaimana mengembangkan suatu kriteria yang seragam dalam mengatasi bahan pustaka analog yang hiterogin.

Ketika  awal perkembangan  penerapan komputer, mula-mula dilakukan pecobaan  membuat rekaman analog kedalam komputer. Sejalan dengan perkembangan teknologi, terjadi perubahan pola penyimpanan  rekaman analog ke digital. Perubahan dari media penyimpanan analog menjadi digital yang hanya menggunakan prinsip bilangan biner 1 – 0 , ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Adanya proses konvergensi di dalam proses digitalisasi, yakni penggabungan-penggabungan antara satu media dengan media lain menyebabkan semakin mudah, ringkas, dan efektifnya orang dalam penggunaan media tersebut. Misalnya saja penggabungan antara teks, gambar, suara, film dan lain-lain menyebabkan semakin dimungkinkannya penyajian media dalam satu sarana media saja yakni internet. Munculnya era digital yang akan menciptakan ruang maya (virtual) ini memungkinkan berubahnya wajah semua industri media massa. Mulai dari electronic book  (buku elektronik), electronic journal (jurnal elektronik), electronic news paper (surat kabar elektronik), electronic radio (radio elektronik), electronic television (televisi elektronik)

Berubahnya industri media massa tersebut memaksa semua produknya yang semula berbentuk analog menjdi digital, seperti buku, film, kaset, VCD, DVD, foto, kertas koran, dan lain-lain. Perubahan wajah industri media massa yang menjadi virtual ini mau tidak mau menyeret dunia perpustakaan  untuk mengikuti derap kemajuan  teknologi informasi yang ada. Berubahnya produk media massa yang sudah menjadi virtual mengubah juga semua koleksi perpustakaan yang jelas-jelas adalah produk media massa itu sendiri. Natinya semua koleksi perpustakaan terbacakan mesin dan dapat tampil dalam bentuk file-file komputer yang harus dimenejemenkan sedemikian, sehingga mudah ditemukembalikan oleh siapapun dan di mana pun. Demikianlah bila disesuaikan dengan konsepsi dasar tujuan aplikasi ilmu perpustkaan di dalam kehidupan.

Perubahan wajah industri media massa menjadi virtual dikondisikan oleh adanya kemungkinan perubahan tatanan masyarakat dari masyarakat industri (industrial society) menuju masyarakat informasi (information society). Posisi di mana masyarakat menganggap bahwa modal utama sektor ekonomi adalah informasi yang mampu menciptakan lahan kerja baru. Bayangkan ketika masyarakat sudah mencapai tatanan masyarakat informasi (information society) ditandai dengan tidak adanya industri media yang sifatnya massif dan bentuk fisik analog. Tidak akan ada surat kabar beroplah sangat besar dengan menyeragamkan agenda setting isi berita dengan menganggap bahwa kebutuhan informasi publik semua adalah sama. Demikian juga dengan stasiun televisi dan radio yang sudah benar-benar berpihak ke publik, tidak lagi berpatokan pada frame time dan iklan. Dengan adanya era digital,  publik sebagai audiencenya   berkuasa penuh, dan pola penyeragaman kebutuhan masyarakat yang merupakan model masyarakat industri (industrial society) ditinggalkan.

Masyarakat akan dianggap sebagai molekuler antar pribadi secara individualistik bukan kolektivistik lagi.. Maksudnya di sini manusia harus diakui sebagai individu-individu yang memiliki kebutuhan unik orang perorang. Sedemikian hebatnya perubahan teknologi informasi yang mampu mengubah tatanan hidup dan pola tingkah laku publik. Perubahan pengakuan kebutuhan orang perorang akan informasi inilah yang memaksa pelaku industri media menciptakan sesuatu media yang khusus dan unik bagi kebutuhan informasi orang perorang. Kehadiran  teknologi internet yang pesat saat ini yang disinyalir dapat mengakomodir apa keinginan informasi yang diinginkan oleh publik. Bayangkan di era maya (virtual) di mana kepercayaan publik terhadap informasi lewat internet sudah sangat tingi dan semua kegiatan sepenunya lewat internet.

Situasi positif yang mungkin timbul adalah perubahan dari stasiun penyiaran televisi konvensional menjadi stasiun TV elektronik (e-televition). Lewat stasiun televisi elektronik tersebutlah diyakini banyak pihak bahwa akan muncul portal-portal informasi akibat adanya proses konvergensi atau penggabungan media-media penyimpanan, seperti teks, suara, gambar, gambar bergerak dan lain-lain yang serba digital. Kemungkinan yang terjadi dengan adanya portal informasi ini adalah hilang dan bangkrutnya media-media massa dan penyiaran selain televisi. Oleh karena itu tidaklah heran bila banyak pemain industri media menanggapi kemungkinan terebut dengan berpaling ke industri media penyiaran televisi dengan pola kepemilikan silang. Bukti yang nyata saat ini adalah sudah banyak pemilik penerbitan surat kabar membuat stasiun televisi dan radio dengan maksud mengantisipasi meledaknya era virtual dan penciptaan portal informasi dimaksud. Dengan munculnya stasiun televisi elektronik yang terjadi adalah perubahan kinerja mereka yang menjadi lebih berfungsi sebagai  pusat rujukan (focal point) utama bagi masyarakat.

Sistem kerjanya hampir sama seperti bentuk perpustakaan konvensional saat ini dengan kehandalan pada penelusuran dan jasa referensi yang ada, namun semuanya dalam bentuk on line(data terbacakan oleh komputer). Audience tidak perlu lagi menunggu waktu tertentu untuk melihat suatu tayangan televisi. Mereka tinggal memilih keinginannya dengan kemampuan browsing (menelusur) lewat sarana internet tentang apa yang mereka mau lihat dan tayangkan. Demikian juga dengan keinginan membaca literatur dan mendengar musik atau talk show lewat radio cukup dengan mengakses portal informasi stasiun televisi saja. Semua portal  informasi menyajikan semua kebutuhan informasi yang sesuai dengan keinginan publik orang perorang  bukan massif seperti saat ini. Singkatnya semua media massa pada akhirnya berlaku seperti perpustakaan bebentuk digital, yang berpatokan pada apa yang diinginkan audience orang perorang. Dan kehadiran portal informasi itu akan dikelola oleh para pelaku media yang lebih berorientasi pada industri bisnis.

Wadah rekaman memori

Buku merupakan bentuk fisik yang pertama kali, sesuatu kumpulan kertas yang dijilid bersama dan ditulis  dengan tinta. Ini merupakan bukti fisik yang memungkinkan untuk tinggal sementara bagi memori yang lelah. Kertas  dan tinta dapat dipindahkan ke bahan lain, tetapi kita tetap memperlakukannya sebagai sesuatu wadah secara fisik. Pada tingkat yang lain, sistem penulisan dapat dipandang sebagai sistem sandi (encoding). Hal ini sudah umum  dikenal namun bukan merupakan satu-satunya bentuk rekaman memori manusia. Di dalam ilmu matematik berkas sering kali diketemukan dalam bentuk grafis yang berbeda (misalnya, sistem kordinat), seni musik memiliki sistem grafis tersendiri demikian pula seni pertunjukan. Kesemua sistem tersebut dalam berbagi bentuk rekaman memori. Bila kita lihat dari sudut pandang psikologi, kita akan mengatakan bahwa metode-metode tersebut adalah bagaimana produk memori manusia itu dibuat (penyusunan dari tingkat pemaknaan ke emosi dan pemahaman).

Sejak dulu buku telah membuktikan fungsinya yang sangat efektif sebagai memori manusia dan pranata ilmu pengetahuan. Buku selalu merupakan wadah untuk menampilkan dan memelihara warisan peradaban bangsa, tetapi juga alat ampuh untuk menyebarkan budidaya tersebut kepada masyarakat. Di samping sebagai sarana informasi tidak kalah pentingnya pula peranan buku sebagai sarana komunikasi. Melalui buku orang dapat mengkomunikasikan dirinya dengan orang lain yang tidak terbatas jarak dan waktunya. Atau dengan kalimat lain dikatakan bahwa, buku adalah sebuah dunia ide, yang mampu merangkum dan mengabadikan pengalaman manusiawi untuk melindungi  batas-batas sejarah, di mana gagasan, pemikiran, penemuan, serta perasaan manusia dikomunikasikan  dengan manusia lain, di tempat lain dan di waktu yang lain. Dari buku-buku itulah cakrawala pengetahuan kita akan bertambah. Kita tahu bahwa kini mobilitas psikis lebih dihargai dari pada mobilitas geografis dan mobilitas sosial. Karena orang yang mempunyai mobilitas psikis yang tinggi akan menjadi orang yang dinamis, hidup dan tahu keadaan.

Salah satu isi buku terpenting sejak semula adalah sebagi wadah ajaran-ajaran suci, sebagai buku suci. Semua agama besar mentradisikan ajaran-ajaran mereka melalui buku. Agama-agama Abraham: Yahudi, Kristen dan Islam disebut agama buku karena mereka semua memiliki  Kitab Suci  sebagai dasar identitas religius mereka. Begitu misalnya, hanya karena Kitab Suci umat Islam,  Al-Qur’an , begitu banyak bangsa, golongan etnik dan budaya: orang Arab, Beber, Hamid, Turk, Slavia Selatan (Bosnia), Kaukasus, Persia, Asia Tengah, Cina, India dan sampai  ke bangsa-bangsa Melayu menyatu dalam sebuah komunitas iman yang bukan hanya seiman, melainkan juga mampu untuk mudah berkomunikasi satu sama lain.

Ditemukannya buku menjadi langkah penting dalam perkembangan cara manusia berfikir, khususnya dalam  cara ia memahami  diri dan realitas seluruhnya. Dalam budaya-budaya nir-buku, warisn ruhani masyarakat  dipelihara dan diteruskan secara lisan. Sementara itu dengan munculnya tradisi tulis dengan media buku sistem pewarisan ilmu pengetahuan berlangsung di lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, tanpa media tulis dan tanpa buku yang memungkinkan tulisan dalam komunitas besar disatukan dan disimpan, pengetahuan abstrak universal-struktural tidak mungkin berkembang. Ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya, sebagai usaha serta menyimpan hasil usaha, untuk secara sistematik mengetahui struktur,kaitan-kaitan, hukum-hukum yang mendasari peristiwa-peristiwa konkrit singular tidak mungkin tanpa buku. Buku adalah prasyarat muncul dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam semua demensi.

Penemuan mesin cetak oleh Johannes von Gutenberg dalam abad ke-15 memungkinkan demokratisasi kemampuan memiliki buku dan sekaligus kemampuan untuk membaca. Mesin cetak membuat produksi buku menjadi murah. Apalagi, dengan mudah dan cepat sehelai selebaran "panas” dapat dilipat gandakan dan dilemparkan ke dalam masyarakat. Mulai saat itu penerbitan buku terus menerus meluas. Begitu pula brosur dan  leaflet  dan, sejak abad ke-17 juga koran. Karena itu, kemampuan untuk membaca dan untuk mencari informasi tentang apa saja yang ada dalam tulisan tidak lagi dapat dibatasi pada sebuah elit, melainkan menjadi milik semua.

Masalah yang kemudian muncul adalah sensor dan pelarangan buku. Para penguasa segala zaman peka terhadap kekuasaan buku dan oleh karena itu, sesudah buku semakin menjadi milik masyarakat, berusaha untuk membatasi penggunaannya. Di sini kebebasan untuk membaca apa yang dikehendaki berhadapan dengan kepentingan  pengusa untuk mengontrol bacaan rakyatnya.  Kebebasan dalam bidang  perbukuan memang  dapat dirasakan sebagai ancaman. Di Indonesia, secara umum ada 5 sebab mengapa buku dilarang beredar. Adapun alasan pelarangan ialah: alasan politik, alasan agama, alasan ras, alasan pornografi, dan alasan penerbitan dalam aksara asing.

Kalau kita berpijak pada Pasal 5 Pernyataan PBB, kebebasan untuk  menyebarkan dan mencari informasi termasuk salah satu hak asasi manusi. Dasarnya adalah paham kedewasaan warga masyarakat.. Bahwa bacaan anak dikontrol oleh orang tua dapat dimengerti, tetapi apabila anak telah menjadi dewasa ia boleh menentukan sendiri apa yang ingin dibaca. Tugas Negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum dan bukan kesejahteraan masing-masing orang, maka sejauh seseorang tidak melanggar undang-undang, bukan urusan Negara untuk menentukan apa yang dibacanya.

Setelah budaya buku meluas, yang perlu disadari adalah sang kesadaran atas makna  minat membaca  itu sendiri. Memang, buku merupakan suatu komponen paling penting dalam sikap dan perilaku  membaca. Namun, yang perlu dibaca sebenarnya bukan sekedar aksara, angka, atau visualisasi lain yang tercetak di media  buku.

Teknologi masa kini memungkinkan kita juga bisa membaca teks yang muncul di layar televisi atau komputer. Media kertas terbukti bisa diganti media elektronika. Televisi atau komputer dapat menyajikan gambar,  images.  Namun, images  tidak membebaskan melainkan membelenggu fantasi.  Images, tidak memberikan ruang bagi daya imaginasi karena seluruhnya mendeterminasikan persepsi. Tentu saja, kita tidak perlu memusuhi televisi. Televisi jelas ada jasanya. Akan tetapi, kemanusiaan kita berkembang karena membaca buku, bukan karena nonton televisi. Karena itu tidak berlebihan mengatakan bahwa pemanusiaan buku bukan hanya membukukan manusia, melainkan meningkatkan kemanusiaannya. Franznis-Suseno (1997) berharap agar generasi televisi dan  instant satisfaction  sekarang tetap senang membaca buku supaya dapat mengalami keasyikan dan kebebasan ruhani yang menjadi ganjarannya. Demikian pula Jaya Suprana (1997) mengingatkan, sebenarnya yang bisa dan perlu dibaca memang buka hanya "buku”  saja, melainkan praktis segenap aspek kehidupan yang bisa terungkap daya pengideraan insan manusia.
 
Perpustakaan dan semangat nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasionalisme sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

Nasionalisme abad ini tidak bisa ditarik mundur ke bentangan abad lalu. Nasionalisme juga bukan lagi produk zaman ini. Ia hanya mewakili kepurbaan. Makna kepahlawanan juga makin digugat ketika cacat historis kian tersingkap, sebagaimana tuduhan atas Tuanku Imam Bonjol. Tantangan-tantangan keindonesiaan tidak terletak pada masa lalu, tapi menghunjam dari masa depan, dengan kecepatan kinetik.
Tapi tantangan itu selalu datang dari satu sumber, yakni ilmu pengetahuan, dengan teknologi sebagai variasi. Maka, ketika anak-anak muda lebih banyak berbicara tentang kekuasaan ketimbang mendiskusikan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses destruksi dari idealisme anak-anak muda sendiri. Sebab, bicara tentang kekuasaan hari ini tidak berbeda jauh dengan kontes menyanyi dan menari, yakni bergantung pada perolehan SMS yang Anda terima.

Kekuasaan hari ini adalah kekuasaan yang menjauh dari ilmu pengetahuan sehingga menjadi sangat anti-intelektual. Dengan ilmu pengetahuan, nasionalisme jelas akan terkapar jatuh. Doktrin sejarah Indonesia yang mengatakan bahwa pembebasan atas kolonialisme datang dari nasionalisme adalah omong kosong. Tidak ada itu bambu runcing bisa menang menghadapi meriam. Perlawanan atas nasionalisme pertama dan utama sekali datang dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuanlah yang meruntuhkan kolonialisme, sebagaimana juga meruntuhkan kehendak hegemonis Orde Baru.

Kaum inteligensia tentu mendapatkan tempat, baik didikan Barat maupun bukan. Dari sini sebetulnya diskusi tentang nasionalisme baru dan Indonesia baru harus dimulai, yakni seberapa rakus bangsa ini terhadap ilmu pengetahuan, bukan seberapa megah sebuah gedung harus dibangun. Lagi-lagi persoalan menjadi klasik: seberapa besar sebuah perpustakaan dibuat di daerah-daerah ketimbang tempat hiburan, sarana belanja, atau gedung parlemennya. Kekuasaan yang terkejam sekalipun akan mudah dihadapi apabila semua warga negara memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan memadai. Ketakutan terbesar  bukanlah kepada anak-anak muda yang miskin harta, tapi lebih kepada anak-anak muda yang papa ilmu pengetahuan.

Kembali ke konsep perpustakaan. Apa yang terbetik dalam benak orang ketika mendengar kata perpustakaan? Bagi para pencinta buku, perpustakaan adalah ‘surga’ kecil tempat mereka menemukan sejumput kebahagiaan intelektual. Untuk sejumlah tertentu pelajar, mahasiswa, atau peneliti, perpustakaan adalah ‘gudang ilmu’ yang wajib ‘diacak-acak’ isinya untuk menemukan petunjuk yang mereka butuhkan.  Akan tetapi, bagi banyak lapisan masyarakat lain, kata perpustakaan tidak lebih berharga dari program infotainment televisi. Para pekerja dan eksekutif muda barangkali menempatkan perbendaharaan kata perpustakaan di urutan ke sekian, setelah istilah-istilah akuntansi, ekonomi, dan bidang lain yang terkait dengan pekerjaan rutin harian. Bahkan di kalangan pelajar dan mahasiswa sekali pun, kosa kata perpustakaan kalah pamor dengan toko buku, mal, plasa atau hypermarket, dan internet search engine. Itu baru soal kata perpustakaan.

Apabila lebih khusus bicara soal Perpustakaan Nasional R.I. maka persoalannya bisa jadi lebih runyam. Meskipun sepanjang pengetahuan Penulis belum ada survei nasional tertentu yang mencari tahu prosentase masyarakat yang pernah mengunjungi dan memanfaatkan jasa Perpustakaan Nasional, akan tetapi tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwasanya Perpustakaan Nasional mengalami nasib kurang lebih sama dengan persepsi masyarakat terhadap istilah perpustakaan pada umumnya. Perpustakaan Nasional bukanlah institusi populer, apalagi dianggap bermanfaat. Jika ‘diadu’ dengan keberadaan toko buku, grup-grup perusahaan besar dan perpustakaan milik asing, citra Perpustakaan Nasional rasaya sudah pasti kalah dengan status "knock out” (KO).

Ada banyak faktor yang menyebabkan Perpustakaan Nasional tidak menjadi pilihan utama (atau malah bukan pilihan sama sekali) sebagai tempat layanan yang dibutuhkan masyarakat. Barang kali tidak semua orang paham tentang Perpustakaan Nasional berikut peran dan fungsinya. Dalam perspektif lain, Perpustakaan Nasional sering disalahpahami sebagai lembaga yang sekadar menyimpan manuskrip dan dokumen lawas bersejarah. Walhasil, ia masih sering dipersepsikan sebagai ‘museum buku’, bahkan tumpang tindih makna dengan Lembaga Arsip Nasional, bukan sebagai lembaga penyedia bahan bacaan dan informasi yang aktual dan mutakhir. Padahal, secara formal,   sebagaimana disebutkan dalam Keppres Nomor 11 tahun 1989 tentang Perpustakaan Nasional, keberadaan lembaga ini diarahkan untuk berfungsi sebagai:

  1. pusat informasi nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya;
  2. pusat deposit nasional, pengemban Undang-Undang Nomor 4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam;
  3. pusat pengembangan sistem perpustakaan dalam rangka pembina semua jenis perpustakaan;
  4. pusat pengembangan dan pembinaan sumberdaya manusia di bidang perpustakaan, serta pusat hubungan dan kerja sama antarperpustakaan di dalam dan di luar negeri.

Perpustakaan Nasional RI kini menjadi perpustakaan yang berskala nasional dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebuah lembaga yang tidak hanya melayani anggota suatu perkumpulan ilmu pengetahuan tertentu, tapi juga melayani anggota masyarakat dari semua lapisan dan golongan. Walau terbuka untuk umum, koleksinya bersifat tertutup dan tidak dipinjamkan untuk dibawa pulang. Layanan itu tidak terbatas hanya pada layanan untuk upaya pengembangan ilmu pengetahuan saja, melainkan pula dalam memenuhi kebutuhan bahan pustaka, khususnya bidang ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Benarkah demikian?

Apabila kita fahami makna kata "nasional” di dalam dokumen resmi IFLA memakai kata  nasional perpustakaan nasional  dan layanan perpustakaan nasional . Di Indonesia, selain perpustakaan nasional  sering juga kita dengar ungkapan system perpustakaan nasional atau lebih tepat penyebutannya ialah system perpustakaan nasional (Sudarsono, 2006). Membahas perpustakaan nsional nampaknya harus bertolak dari makna kata nasional ini. dalam rangkaian kata

Dalam dokumen itu disebutkan pendapat Maurice B. Line bahwa perpustakaan nasional diartikan sebagai perpustakaan: 1). Dengan koleksi literature  yang dihasilkan suatu bangsa; 2). Yang menampung sebagian besar kekayaan warisan budaya bangsa; 3). Pemimpin atau koordinator dari seluruh perpustakaan yang dimiliki oleh suatu bangsa; 4) yang melaksanakan layanan secara nasional baik untuk perpustakaan lain atau masyarakat.

Dari ke 4 (empat) di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perpustakaan nasional dikembangkan berdasar konsep yang berdimensi 3 (tiga), yaitu: a). Warisan budaya, penekanan pada kekayaan literature yang dihasilkan suatu bangsa. Kelestarian atas koleksi ini menjadi perhatian utama, b). Infrastruktur, penekanan pada koordinasi nasional, fasilitasi kepemimpinan, dan jasa. Perhatian utamanya adalah pada pengembangan dan layanan pada perpustakaan lain dalam satu Negara; c). Layanan nasional  yang komprehensif, penekanan pada layanan kepada pemakai di seluruh penjuru Negara. Perhatian utamanya adalah pelayanan masyarakat umum.

Bagi Negara Indonesia yang beragam suku, bahasa, agama, dan budayanya. Kata nasional memang harus lebih cermat kita maknai. Identitas nasional hendaknya tidak hanya didominasi oleh salah satu pihak saja. Nasional hendaknya benar-benar mencerminkan keberagaman yang ada di Indinesia. Hal ini tentunya tidak mudah. Salah satu  pendekatan yang perlu dilaksanakan untuk mencapai kriteria nasional yang tepat adalah dengan lebih banyak memberi kewenangan  kepada daerah atas kepentingannya dalam bidang perpustakaan. Namun kenyataannya juga harus diperhatikan bahwa kemampuan daerah di bidang kepustakawanan nampaknya mendesak untuk dikembangkan, agar konsep perpustakaan tumbuh secara benar.

Kita juga melihat kenyataan bahwa penyediaan jumlah perpustakaan di Indonesia sendiri masih amat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa. Data tahun 1999 menyebutkan bahwasanya di Indonesia terdapat 1 (satu) perpustakaan nasional, 2.583 perpustakaan umum, 117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus.

Penutup

Dari uraian tersebut, muncul petanyaan dapatkah buku dan perpustakaan  sebagai memori bangsa berkemampuan untuk membangkitkan nasionalisme?  Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu meninjau lebih dahulu jenis perpustakaan. Jenis perpustakaan ini berkaitan dengan pemakainya yang merupakan anggota masyarakat. Dari berbagai jenis perpustakaan yang ada, hanyalah perpustakaan umum yang berkaitan dengan umum. Inipun ditekankan oleh UNESCO melalui Manifesto Perpustakaan Umum. Dalam manisfesto tersebut dinyatakan bahwa perpustakaan umum merupakan perpustakaan yang sepenuhnya dibiayai oleh dana umum, harus dapat diakses bagi semua anggota masyarakat sehingga mensyaratkan gedung perpustakaan memiliki letak yang baik/strategis, fasilitas ruang baca dan belajar yang baik, teknologi yang memadai serta jam buka yang memungkinkan anggota masyarakat mengunjunginya. Ketentuan tersebut tidak terdapat pada jenis lain seperti perpustakaan nasional, khusus, sekolah dan perguruan tinggi. Koleksi perpustakaan nasional tidak selalu dapat dipinjam umum sedangkan perpustakaan khusus, perguruan tinggi dan sekolah tidak dapat digunakan umum walaupun kini ada anjuran agar perpustakaan sekolah membuka dirinya bagi masyarakat sekitarnya.

Kembali ke pertanyaan di atas apakah buku dan perpustakaan mampu menjadi agen perubahan: membangkitkan nasionalisme,  nenumbuh kembangkan warga negara untuk berkesadaran berbangsa dan bernegara, maka jawabannya  mampu namun sebatas pada penggunanya.  Bila dijawab secara makro, maka perpustakaan  bukan agen perubahan karena perpustakaan diciptakan dan dibina oleh masyarakat, juga dirusak(dihancurkan) oleh masyarakat (Sulistyo-Basuki, 1991).  Menyangkut perpustakaan  sebagai agen perubahan, maka hal tersebut dilakukan dalam bentuk tujuan perpustakan. Tujuan pertama perpustakaan ialah menyimpan pengetahuan, aspek moral dan politik, untuk pendidikan dan penyebaran pengetahuan.

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

  • Aldrich, Ella V.   Using books and Libraries.   Englewood-Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967
  • Apostel, Richard and Boris Raymond. Librarianship and the Information Paradigm.London: The Scarecrow Press, 1997.
  • Buckland,, Michael. Redesigning Library Services: A Manifesto.  New York: American Library Association, 1992. http://sunsite.berkeley.edu. 16/07/2001
  • Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid. 3.  Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1989.
  • Hardjoprakoso, Mastini.  1997.  "Buku dan Perpustakaan”.  Di dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa : Bunga rampai sekitar Perbukuan di Indonesia.  Yogyakarta: Kanisius, 1997: 57-92.
  • Kasbolah, Kasihani. 1992.  "Studi Kepustakaan”  di dalam  Forum Penelitian,  4(1&2) : 179-185.
  • Magnis-Suseno, Franz. 1997.  "Memanusiakan Buku – Membukukan Manusia”. Di dalam Buku Membangun Kualitas Bangsa : Bunga rampai sekitar Perbukuan di Indonesia.  Yogyakarta: Kanisius, 1997: 13-33. 
  • Rowley, Jennifer.  1996.   Organizing of Knowledge.  London: Library Association.
  • Somadikarta, Lily K. 1980/1981.  "Perkembangan dalam pengelolaan informasi”, di dalam Analisis Kebudayaan,  3(1): 92-98.
  • Sudarsono, Blasius. Antologi Kepustakawanan Indonesia.  Editor Joko Santoso.  Jakarta: PP IPI – Sagung Seto, 2006.
  • Sulistyo-Basuki.  Pengantar Ilmu Perpustakaan.  Jakarta: Grmedia Pustaka Utama, 1991.
  • ------------------,  "Potensi Perpustakaan dalam menghadapi Krisis Sosial Budaya”.  http://www.pnri.go.id/artikel/seminar/24102000/makalah.htm
  • UNESCO.   Unesco Public Library Manifesto.   Paris: Unesco, 1992.

Oleh                               : Purwono ( Pustakawan Utama UGM)
Asal Artikel/ Karya Tulis : adab.uin-suka.ac.id/file_kuliah/Memori%20bangsa.doc
Waktu Download            : Selasa, 15 September 2009 Pukul.15.55 WIB

Cara Download:
1. Klik Banner, 2. Tunggu beberapa detik, 3. Klik LEWATI, 4. Klik tombol Download, 5. Masukan Verification, 6. Klik Download.





Category: My files | Added by: maung | Tags: Buku Dan Perpustakaan Catatan Memor
Views: 3406 | Downloads: 0 | Comments: 1 | Rating: 0.0/0
Copyright MaungLib - Aulaindo Solution © 2009 - 2024